Cerpen - Saat aku melihat seseorang, hal pertama yang ku lakukan adalah melakukan penilaian terhadap orang tersebut. Mulai berdasarkan gaya bicaranya, bahasa tubuhnya, sikapnya saat memberikan maupun menjawab pertanyaan, hingga harmoninya dalam berkomunikasi dengan orang lain. Entah sajak kapan hal ini aku lakukan, tapi aku meraskan bahwa ini sudah menjadi kebiasaan buatku.
Selanjutnya aku akan memberikan penilaian tentang orang tersebut, apakah dia termasuk dalam kategori baik, buruk, atau tak terduka. Tentu saja penilaian ini berdasarkan dari sudut pandangku. Jika hasil penilaianku baik, maka aku memberikan predikat "aman" pada orang tersebut.
Tapi bagaimana jika hasil penilaianku terhadap orang tersebut masuk dalam kategori "buruk"?
Berawal dari pertanyaan itulah muncul sesuatu yang aku sebut sebagai Tantangan, yaitu berusaha merubah nilai "buruk" orang tersebut menjadi nilai yang "baik".
Lalu bagaimana aku menerapkan Tantangan tersebut?
Pertama aku berusaha untuk akrab dulu dengannya. Kemudian dengan mengadopsi Teknik jurnalis, aku melakukan observasi lebih dalam. Tapi tentu saja tidak serta merta aku berlagak seperti jurnalis. Aku mencoba secair mungkin agar tak terlihat seperti petugas sensus. Mungkin ini yang disebut sebagai kamuflase. Kemudian jangka waktunya-pun tidak sesingkat seperti teman baru kenal dalam satu bus angkutan umum. Butuh pendekatan yang mungkin juga terkesan sok kenal padahal baru kenal.
Setelah aku rasa sudah sepakat untuk menjadi teman meski tanpa kemufakatan, Tantangan itu mulai kulancarkan. Sedikit demi sedikit kalimat dariku mengalir lembut ke dalam dirinya. Sikapnya yang menurutku buruk, aku poles lembut agar perlahan berbelok mulus menjadi baik. Bahasa tubuhnya yang terlihat zig-zag, aku iringi dengan tarian gemulai agar alurnya lebih teratur. Sampai terkadang pada tahap mengorbankan diri sendiri pun aku lakukan demi menaikkan predikat "buruk" menjadi "baik" tersebut.
Tapi,
Belakangan aku kedatangan tamu. Berbisik kepadaku tentang kesalahan, keputusasaan, kekalahan, kebodohan, hingga dengan percaya diri mengenalkanku tentang kekonyolan. Tamu tersebut memperkenalkan dirinya dengan sebutan Bimbang.
Entah mengapa, aku mulai akrab dengan Bimbang. Kedatangannya tak terlihat tapi terasa menyegarkan. Kehadirannya begitu tiba-tiba tapi aku malah seperti mengharapkannya. Kemunculannya mengejutkan tapi aku seperti telah diberitahu sebelumnya.
Ada apa gerangan?
Melalui Bimbang, aku mulai merasa Tantangan adalah kesalahan. Hampir tiap detik Bimbang selalu bersuara di telingaku. Melafalkan bisingan-bisingan menyakitkan seolah aku adalah Sang Penyesal.
"Apakah ini saatnya aku menyerah pada Tantangan?" Bimbang benar-benar membuatku bimbang.
Beberapa hari aku mencoba mencari jawaban. Hingga akhirnya aku bertemu dengan seorang pemuda. Akupun mulai menyapa.
"Namaku Pi?" Katanya seraya menyambut jabatan tanganku.
Beberapa detik kemudian aku terkaget. Ada makhluk buas di sekoci itu. Kepalanya mengarah ke arahku. Aumannya begitu menggelegar. Siapapun pasti tahu bahwa itu adalah salah satu penguasa hutan.
Pertanyaanpun muncul: "Mengapa di tengah samudra Pasifik ada seorang anak dengan seekor penguasa hutan?"
Pi mulai bercerita. Menjelaskan dari awal hingga usahanya merangkul penguasa hutan tersebut.
Di tengah cerita Pi menyebut nama dari binatang buas itu adalah Richard Parker.
Pi ingin sekali menyatu dengan Park (nama panggilan Richard Parker). Pi ingin Park menjadi sahabatnya yang mengerti satu sama lain. Sepertinya usaha Pi itu sama dengan Tantangan dalam diriku. Akupun mulai tertarik mendengar kisahnya.
Selama lebih dari 20 minggu Pi bersama Park di tengah samudra, dan tentu saja Pi berada di bawah tekanan. Fisiknya yang kecil akan mudah tercabik jika satu langkah lebih dekat berada di depan Park. Tapi entah mengapa Pi malah berusaha mendekati Park dengan sudut pandang sebagai teman. Pi sepertinya percaya bahwa sifat buas Park bukan penghalang untuk memenuhi syarat sebuah persahabatan.
Sedikit demi sedikit Pi mulai mampu membuat Park akrab dengannya. Gaya komunikasi mereka mulai sinkron. Hingga akhirnya mereka mulai "nampak" seperti sepasang sahabat.
Setelah berjuang bersama, akhirnya mereka sampai di daratan. Saat itu Pi maupun Park sudah hampir tidak memiliki tenaga sedikitpun. Pi hanya mampu merangkak pelan ke daratan yang dirasa aman dari ombak laut. Sementara Park, meskipun juga sangat lemas, tapi dia masih bisa berjalan walupun sangat pelan. Park berjalan pelan menuju hutan yang jaraknya cukup dekat dari pantai mereka terdampar. Pi hanya bisa melihat Park tanpa mampu menggerakkan tubuhnya.
Saat itulah aku mulai menemukan jawaban tentang Tantangan dalam diriku.
Saat Pi berkata dalam hati: "Aku harap Park menoleh ke arahku sebelum dia benar-benar hilang menenggelamkan dirinya di hutan."
Tanpa ragu, Park terus berjalan ke dalam hutan. Dan yang paling membuatku merasa bahwa itu adalah sebuah jawaban dari Tantangan adalah Park tak sedikitpun menolehkan pandangannya ke arah Pi.
Dari kejadian tersebut akupun mulai mengerti, bahwa Tantangan yang ku lakukan tidak sepenuhnya salah. Tapi menjadikan Tantangan sebagai kehendak agar tiap orang yang ku nilai "buruk" berubah menjadi "baik", inilah letak kesalahannya.
Aku sadar, sebesar apapun usahaku melakukan Tantangan, aku tak bisa sepenuhnya merubah nilai seseorang menjadi nilai yang kuinginkan.
Hingga akhirnya aku mulai menyadari bahwa ketetapan yang tak bisa ku ubah dari seseorang itu adalah Karakter.
Mungkin aku bisa akrab dengan Karakter dan menyatu dengannya. Tapi satu yang aku tanam kuat yaitu Karakter adalah karakter itu sendiri. Dia tak bisa dirubah oleh siapapun hingga mungkin dia sendiri yang merubahnya.
Lalu, bagaimana dengan Karakterku?
Karya: Mas Gakusei