Dalam kehidupan manusia ada senang ada susah, prahara dimana manusia akan mengalami masa sulit, terombang ambing bahkan mati. Tak hanya diranah lingkungan biasa, lingkungan pondok pun tak luput darinya. Satu hal dimana manusia mengalami satu masa senang tiada tara, yaitu masa putih abu-abu : SMA/SMK.
Sarif mengawali langkah pertama di lingkungan SMK dengan senyum lebar yang dia miliki. Senyum khas yang selalu dibawa kemana-mana. Kawan baru, guru baru, ilmu baru dan yang paling mendebarkan seorang yang bernama Dalifah primadona anak pondok.
Sarif berasal dari kota seberang dan ingin bersekolah di sekolah yang berbasis ponpes (pondok pesantren). Keinginan yang kuat membawanya ke kota dimana banyak pondok pesantren berdiri.
Kholis adalah sahabat yang pertama dimiliki Sarif dikota itu, bersama dalam satu kamar pondok yang terdiri dari 16 orang bahkan lebih. Duduk dikelas yang sama dan sama-sama dari kota yang berbeda. Tujuannya mencari ilmu dan menimba agama, awalnya. Kholis ingin membedah kepala sarif dan ingin tahu apa isinya, karena sepanjang hari Sarif terus memandangi kelas gedung sebelah, dimana Dalifah berada. “Satu bulan dipondok banyak orang membicarakan Dalifah, penasaran seperti apa dia!” kata Sarif kepada Kholis (sambil geleng-geleng kepala, kholis menjawab) “hati-hati nanti bisa jatuh hati”.
Beberapa saat kemudian Dalifah keluar dari kelas bersama temannya, sesaat pandangan sarif berbeda, mukanya memerah dan gugup seperti ada yang ingin menagih hutang. Sebaliknya Dalifah santai dan tersenyum dari kejauhan ketika memandang gedung sebelah ada Sarif. Fantasi Sarif mulai muncul, buku-bukunya banyak gambar wajah Dalifah. Tak pernah ngobrol atau bahkan bertemu dekat. Hanya memandang dari sekat gedung-gedung pemisah antara kelas laki-laki dan perempuan.
Tak ada hari yang terlewatkan bagi Sarif ketika berada didalam kelas saat jam kosong, yaitu dengan memandangi gedung sebelah, berharap Dalifah lewat dan tersenyum. Suatu malam sehabis semaan kitab kuning dihadapan pengasuh pondoknya, Sarif mengambil satu kertas dan bolpoin. Tulisan demi tulisan dibuat Sarif malam itu, namun tak menemukan kata yang tepat untuk Dalifah. Malam makin larut, pikiran Sarif sudah kalut.
Kholis membangunkan Sarif sebelum adzan subuh berkumandang, ketika itu mendapati Sarif sedang mengigau satu nama yang disebutkan namun tak begitu jelas, “fah, ifah, da, ifah” begitu kedengarannya. Dengan sedikit keisengannya Kholis menyiram air ke muka Sarif, “yah, basah” katanya keras. “kamu mimpi apa rif?” tanya Kholis dengan heran. Sarif menjawab dengan senyuman khasnya sampai gigi ompong sebelah kirinya terlihat. “bodo amat, ayo sholat!” seru Kholis.
Pagi itu di sekolah ada pelajaran Bahasa Indonesia dengan materi membuat puisi bertema bebas. Dibawah pengarahan Pak Muji mereka diarahkan ke halaman sekolah tepatnya di taman membaca yang berbatasan langsung dengan gedung Dalifah yang bertembok tinggi memisah 2 gedung pondok. Dibuatkannya puisi untuk Dalifah. Bakat puisi Sarif mulai terendus Pak Muji, puisi itu berjudul Cinta untuk Bidadari, sebagai berikut.
Teruntuk Adinda ditembok seberang
Ku tulis sepucuk puisi seperti kusutnya benang
Tak bisa dirasa ketika tak memandang
Wajah adinda bercahaya bak bintang terang
Cinta membuat ku bisa berpuisi
Walau tak indah namun ada isi
Yang menggambarkan isi hati
Jika jatuh cinta pada bidadari
Tersenyum Pak Muji ketika membaca puisi Sarif, beliau bertanya kepada Sarif. “Apakah yang kamu rasakan?” dan Sarif menjawab “hanya cinta monyet pak”. Semua tertawa mendengar pernyataan Sarif. Teknik menulis yang tidak biasa dijumpai Pak Muji ketika berhadapan dengan anak kelas X SMK. “sudah cukup kita kembali kekelas!” teriak pak Muji kepada seluruh siswanya.
Dengan peci yang rada miring, Sarif berjalan menaiki tangga. Terbesit ide untuk menyampaikan puisi itu untuk Dalifah. Ide pertama Sarif adalah menerbangkan surat yang di buat pesawat-pesawatan, dari atas gedung Sarif melempar pesawat itu, pesawat itu terbang melintasi tembok tinggi dan naik keatas bukannya jatuh ke sasaran malahan jatuh tepat di ibu penjual gorengan.
“Aduh salah sasaran” kata Sarif.
“Ini siapa yang lempar-lempar kertas dan menggoda dengan puisi?” ujar ibu penjualan gorengan.
Sarif bersembunyi sambil berbisik “salah sasaran, kacau”.
Tak patah semangat hari kedua Sarif melancarkan serangan dengan menerbangkan dengan balon, tapi kali ini apes karena balon meletus dan puisi itu jatuh di depan kepala sekolah yang sedang marah didepan tiang bendera. “Ini siapa yang main surat-suratan!” kata kepala sekolah dengan nada sangat marah.
Sarif kembali sembunyi dibalik kayu-kayu yang berserakan di atas gedung itu. Beberapa hari kemudian Sarif kembali menuangkan idenya karena dipikirnya masalah kemarin yang hampir ketahuan kepala sekolah sudah mereda.
Ide yang ke tiga adalah melempar kertas itu yang didalamnya dikasih batu kecil untuk pemberat, “kali ini semoga tepat sasaran” ujarnya. Dilemparkan kertas itu, sembari Sarif berdoa dan memejamkan mata karena takut.
“Aduh, siapa yang melempar ini!” suara cewek terdengar oleh Sarif, dibukanya pelan-pelan matanya dan menjawab “saya”.
Menengoklah gadis itu sembari berkata “hai”. Sarif tidak bisa berkata-kata lagi karena gadis itu bukan Dalifah melainkan Susi, gadis yang berbobot paling extream di sekolah. Sarif kalang kabut dibuatnya dan lari terus ambil wudhu.
Seminggu setelah kejadian memalukan itu, Sarif masih mempunyai rencana cadangan yaitu menitipkan surat yang berisi puisi itu di kalung kucing yang bernama siti. Aslinya nama kucing itu kitty tapi karena lidah orang jawa mudah memanggilnya siti.
Nah, kucing ini sering diberi makan Dalifah dan sering mondar-mandir dipondoknya. “Kamu makan ya, nanti aku nitip ini untuk Dalifah, beneran loh jangan sampai salah” kata Sarif ngomong sama kucing itu.
Kucing itu makan dengan lahapnya dan sehabis makan kucing itu berjalan ke kursi dan tertidur, Sarif membangunkan tetapi kucing itu malas bangun. Kemudian Sarif mendorong-dorong kucing itu keluar. Dua hari berlalu dilihatlah leher kucing itu sudah tak ada kertas. Berharap kali ini kertas itu jatuh ketangan yang dituju.
Semuanya gagal total, bukannya sampai malah seluruh sekolah dan pondok tahu ada yang kirim puisi cinta tersebut tanpa nama dan tanpa ditujukan kepada siapa. Pak Muji memanggil Sarif dan menghukumnya dengan menambah hafalan surah An-Nur, tegasnya.
Sarif bingung kenapa pak Muji menghukum menghafalkan surat An-Nur, dari pada bertanya-tanya kemudian Sarif memulai cari tahu sendiri. Surat itu berisi petunjuk Allah SWT tentang kemasyarakatan, hukuman dan rumah tangga.
Ada salah satu ayat yang menjelaskan tentang jodoh yaitu apabila wanita baik dapat laki-laki yang baik pula. “Wah, jadi semangat nih, tapi tidak hanya itu, ini tentang dosa/hukuman jika tak mematuhi petunjuk Allah” ujarnya.
Sembari mematuhi hukuman dan sanksi yang diberikan, Sarif menghafalkan ayat demi ayat beserta arti yang terkandung.
Suatu hari Dalifah duduk dibawah pohon rindang di taman membaca. Sarif tanpa sengaja tahu Dalifah sedang duduk dibawah pohon, dari atas dilemparkanlah puisi yang ditulisnya tiga bulan yang lalu dan sampai dihukum gara-gara puisi itu.
Akhirnya tersampaikanlah puisi itu, jantung berdebar-debar, tangan gemetar, dan badan terasa beku saat menerima lemparan kertas dari tembok sebelah.
“Ini jawaban dari Dalifah” kata Sarif bergumam.
Dibukanya pelan-pelan selembar kertas kumel itu, tulisannya bagus dan diiringi salam yang begitu menggetarkan bulu-bulu ditubuh.
“Assalamualaikum Sarif, puisi kamu indah, apakah ini untukku? Terima kasih sebelumnya. Alangkah indahnya kita menjadi pelajar dengan tugas belajar bukan bermain cinta-cintaan. Jangan takut kehilangan karena jodoh sudah ditakdirkan. Sarif tujuan kita jauh-jauh kesini adalah belajar dan mendalami agama. Ayo semangat belajar dan sampai ketemu dibangku perkuliahan.”
Dengan tersenyum Sarif berkata, “3 tahun lagi pasti ketemu” berusaha menghibur hatinya. Sejak itu gedung sebelah tampak lengang karena jarang Dalifah kelihatan. Jam kosong tak seindah dulu bisa melamunkan.
Akan tetapi, rupanya, cinta meski sebelah mata maupun buta sekalipun, selalu saja berbuah kebaikan. Semangat dari selembar kertas Dalifah mengubah cara pandang Sarif. Nilai rapor semester 1 jauh lebih baik dari Kholis dan beberapa temannya satu pondok.
Biarlah sosok Dalifah masih menjadi misteri, hanya bisa pandangi dari sisi gedung, entah sampai kapan. Akan selalu tersimpan selembar kertas dan cerita ini didalam peci.
Karya: Nyenk