Pagi ini aku mulai bersahabat dengan lorong jurusan. Mengenal setiap apa yang ada didalamnya. Menyelami setiap sudutnya. Seolah menyatu menjadi bagian yang tak terpisahkan.
Deretan kursi biru, ruang lalu lalang yang hanya sejengkal, pintu jurusan yang slalu terbuka dan tertutup kembali, sepoi angin yang terkadang datang mengusap peluh, mulai merasuk dalam iringan hariku, di lorong jurusan.
Waktu masih menunjukkan pukul 8 pagi. Akupun baru tiba di lorong jurusan. Belum banyak yang ku lihat, dosen maupun mahasiswa. Sudah menjadi hal biasa memang, bahwa pukul 8, masih terlalu pagi buat kampus, apalagi buat mahasiswa tingkat akhir sepertiku.
“Berangkat jam 8 pagi?” gumamku, seolah tak percaya aku mampu melakukannya. Butuh semangat ekstra buatku, meski sekedar hanya untuk otw kampus.
Yah, beginilah hari-hariku, termasuk hari ini. Menunggu dosen, melihat ruang kepala jurusan, mencari sekretaris jurusan, menyiapkan diri menghadapi mereka, agar bisa segera mendaftar ujian skripsi. Berharap kepastian, dari hal yang belum terpastikan.
Namun hari ini ada yang berbeda. Hari dimana aku tinggal selangkah menuju ujian skripsi. Hari yang selama ini menjadi moment yang kunantikan, dari sekian lamanya bimbingan skripsi. Ekspresi yang sungguh terlihat dari wajahku, seakan aku bebas dari jeruji bimbingan.
Aku yang merasa akan melalui hari seperti biasa, sedikit terkejut dengan hadirnya beberapa wajah asing. Mereka yang belakangan ku ketahui berasal dari kelas lain. Mereka yang hari ini berbaur di ruang sekretaris jurusan. Mereka yang juga akan mendaftar ujian skripsi –yang kami sebut dengan sidang. Dan bagian dari mereka yang tanpa kusadari sebelumnya, akan merubah hariku menjadi lebih asyik.
“Mantha, gimana kamu? Udah selesai daftar belum?” Aku bertanya pada teman sekelasku. Satu-satunya teman sekelas yang kuketahui telah menyelesaikan administrasi pendaftaran sidang, berbarengan denganku.
“Belum nih Mas. Masih nunggu Mbak Ovin –sekretaris jurusan-, lagi jam istirahat.” Jawabnya sambil menghampiriku, di deretan kursi biru.
Aku yang sudah lebih dahulu duduk lama di kursi biru, melihat Mantha berjalan dengan seorang gadis di sampingnya. Seorang yang belum sama sekali ku kenal, wajah maupun namanya.
“Oh ya udah, tunggu aja. Aku juga nunggu Mbak Ovin nih.”
Melihat ada dua kursi biru yang masih kosong, Mantha dan temannya langsung duduk, tepat di sampingku.
Kulihat, mereka sudah begitu akrab, asyik berbincang. Entah karena sudah lama berteman. Atau karena ku pikir wanita lebih mudah berteman. Entahlah, yang pasti mereka terlihat asyik satu sama lain.
Sekilas, aku memperhatikan Mantha. Teman lama yang menghiasi kelas kuliah. Teman lama yang tetiba muncul karena kebetulan mau daftar sidang, bareng denganku. Masih terlihat sama. Mantha, gadis dengan tas kecilnya, dan suaranya yang sangat ku kenal, masih sama seperti saat presentasi di kelas. Meski ada sedikit yang berbeda kulihat, Mantha tidak lagi mengenakan kaca mata. Sepertinya dia menggantinya dengan memakai softlens. Tapi itu tak membuatku kesulitan mengenal bahwa dia adalah Mantha.
Sebenarnya aku sedikit lebih penasaran dengan seorang gadis yang kulihat beriringan dengan Mantha.
“Siapa dia?” Pikirku sambil lirih memandanginya.
Ditengah asyiknya mereka ngobrol, aku memperhatikan gadis itu. Parasnya yang manis, busananya yang fashionable, dan gaya bicaranya yang friendly, membuatku berfikir bahwa dia adalah gadis supel. Terlalu dini untuk menilai seseorang memang, mengingat belum sepatah obrolan katapun keluar dariku untuk gadis itu, pun sebaliknya.
“Ah sudahlah, mungkin dia teman Mantha dari kelas lain.” Pikirku seakan aku hanya berkesempatan melihatnya di hari ini saja. Aku berfikir demikian karena ku tahu, hari ini ada beberapa mahasiswa yang berbarengan mendaftar sidang. Dan ku tahu, mereka bukan hanya dari kelasku. Mereka datang dari berbagai kelas. Jadi, wajar jika kulihat gadis dari kelas lain itu bersama Mantha, hari ini.
Sejam telah berlalu. Waktu menunjukkan pukul 1 siang. Dan akhirnya, Mbak Ovin datang juga. Setelah memastikan Mbak Ovin di meja kerjanya, kamipun bersamaan menghampirinya, dan menjelaskan keperluan yang kami butuhkan.
Mbak Ovin pun mengerti yang kami butuhkan dan dengan sigap memberikan secarik kertas berharga satu persatu kepada kami, termasuk buatku, Mantha, dan gadis itu. Kertas berharga itu merupakan tiket masuk kami untuk ujian skripsi.
Sejenak, Aku tertegun melihat kertas yang ku pegang. Tertulis beberapa nama dosen yang akan menguji skripsiku.
“Oh My God!” Dalam hati, ku sebut nama Tuhan. Aku terkejut melihat dosen penguji yang terkenal dengan bantaiannya, tertulis jelas di kertas yang ku pegang.
Aku tak mau larut memandangi kertasku. Segera ku lihat sekeliling. Nampak semua yang memegang kertas berharga itu juga begitu terkejut. Ah, betapa leganya aku. Kupikir kejutan itu hanya datang untukku.
“Mantha, siapa dosen pengujimu?” Segera kutanya Mantha, karena saat itu hanya dialah yang ku kenal.
“Alhamdulillah, dosen pengujinya lumayan santai kok Mas, meski aku juga takut sih, hehe.”
“Oalah. Iya deh. Tetap semangat.”
Ku lihat Mantha masih bersama temannya, seorang gadis yang ku anggap supel.
Karena posisiku dengan Mantha dan gadis itu berdekatan, akupun memberanikan diri bertanya pada gadis tersebut. Entah apa reaksinya nanti setelah aku mulai menyapanya dengan pertanyaan yang sama kutujukan dengan Mantha sebelumnya.
“Hai, kalo kamu siapa dosen pengujinya?” Tanyaku pada gadis itu sambil ku pandang wajahnya.
Dengan sedikit ekspresi sedih, ku lihat dia mencoba menjawab pertanyaanku.
“Ini mas.” Jawabnya singkat, sambil menyodorkan kertas yang ia pegang ke arahku.
“Wow.” Akupun menjawab singkat dengan ekspresi cukup kaget. Betapa tidak, dosen penguji yang tertulis di kertas gadis itu, juga cukup terkenal dengan kabar bantaiannya, dari kakak tingkat saat sidang.
Eh wait! Sebenarnya, ada dua hal lain saat ku lihat dari kertas yang ia sodorkan, dan saat ia menjawab pertanyaanku tadi. Pertama, ia memanggilku mas, karena memang itu sapaan buat cowok, atau ia memanggilku mas, karena tahu nama depanku adalah Mas? Seketika, itu membuatku ge er sekaligus pe de. Ge er dengan jawabanya yang friendly, dan pe de dengan analisisku yang mengatakan bahwa dia gadis supel, sepertinya benar. Ah, tapi aku langsung menghentikan analisis konyol ini. Yang terpenting adalah hal ke dua yang ku ketahui, bahwa dari kertas yang ia sodorkan tadi, tertulis jelas namanya. Dalam hati aku tersenyum. Keunikan mulai kurasakan. Ternyata, gadis itu bernama Gadis.
Masih di hari yang sama. Aku kini berada di ruang ketua jurusan. Termasuk Mantha dan Gadis. Masih ada urusan yang harus kami selesaikan. Memburu tanda tangan ketua jurusan.
“Ah, betapa nyamannya ruang ini.” Gumamku sambil mem pw kan diri duduk di sofa. Berbeda dengan kursi biru di lorong jurusan, sofa di ruang ketua jurusan terasa lebih nyaman. Dan ku lihat, Mantha dan Gadis juga terlihat nyaman duduk di sofa ruang ketua jurusan.
Kembali ku lihat. Mantha dan Gadis mulai asyik mengobrol. Nampaknya itu akan berlangsung cukup lama, mengingat sang ketua jurusan belum menampakkan kabar kehadirannya.
Aku yang telah mengetahui nama gadis itu, mencoba memberanikan diri ikut ngobrol. Setidaknya itu bisa mencairkan suasana sembari melupakan suntuknya menunggu seharian ini.
Belum sempat aku ikut nimbrung, tiba-tiba aku teringat kalo aku belum sholat. Ku lihat jam tangan di lenganku, jarum pendek menunjukkan angka 2. Dan jelas, sepertinya aku harus sholat dulu.
“Mantha, Gadis, aku mau keluar sholat dulu yaa.” Ku sapa mereka sekaligus pamit sebentar. Dan ini pertama kalinya aku memanggil nama gadis itu.
“Iya Mas, duluan aja, aku lagi ga sholat kok.” Ucap Mantha kepadaku.
Baru aku berdiri dari sofa, tiba-tiba Gadis berbicara. “Eh mas, jadiin satu aja, siapa tahu ntar Ibunya datang pas kamu masih sholat.”
Sontak aku langsung mengambil kertas sidang dari dalam tas punggungku. “Oh iya, ini. Makasih ya.” Jawabku sambil tersenyum pada Gadis.
Saat otw musholla fakultas, aku mulai yakin bahwa Gadis memang gadis yang supel. Dia begitu mudah membaca situasi, mengerti keadaan, dan memberikan solusi pada masalah yang sama, yang kami hadapi.
Sesaat usai sholat, tiba-tiba aku teringat istri dari guru ngajiku di pondok pesantren dulu. Mbak Nana namanya.
“Mbak Nana, piye ya caranya mengetahui bahwa kita suka sama seseorang?” Tanyaku pada mbak Nana, sembari mengingat kejadian beberapa tahun silam saat diskusi di ruang ngaji.
“Pas kamu lihat dia pertama kali, jika terasa ngrentek di hati, itu tandanya kamu suka dia.”
Ngrentek. Tiba-tiba kata itu muncul kembali 4 tahun kemudian. Hari ini. Ketika aku di Undip. Saat aku bertemu Gadis. Di semester akhir menjelang otw wisuda.
“Mungkinkah ini yang namanya suka pada pandangan pertama? Atau ini hanya perasaan suka yang melintas sepintas, lalu hilang?” Entahlah, aku hanya mencoba memahami apa yang aku rasakan.
Seusai sholat, aku langsung kembali ke ruang ketua jurusan. Bersikap seperti biasa. Terutama pada Gadis. Seolah tak terjadi apa-apa.
Ku lihat Mantha dan Gadis masih terlihat nyaman di sofa.
“Ibu udah datang?” Tanyaku pada mereka.
“Belum. Tapi kertas sidangnya udah aku taruh di meja Ibu kok.” Kali ini Gadis yang menjawab.
Akupun kembali duduk di sofa. Menunggu Ibu ketua jurusan. Dan apa yang terjadi selanjutnya? Yups. Dengan sentuhan friendly yang Gadis berikan, kami bertiga seketika pecah. Meriuhkan suasana. Kompak tanpa komando. Menggegap gempitakan horrornya kejenuhan menunggu, dari pagi hingga sore menjelang.
Hampir 2 jam menunggu, akhirnya ketua jurusan datang, yang belakangan kami ketahui, beliau baru selesai dari agenda rapat, yang berakibat, kami harus menunggu lama. Akhirnya kamipun memperoleh tanda tangan ketua jurusan.
Sebenarnya, setelah memperoleh tanda tangan ke jurusan, kami masih ada urusan yang harus diselesaikan, yaitu memberikan surat sidang ke akademik. Dan itu adalah proses terakhir menuju sidang. Tapi, karena hari sudah sore, kamipun memutuskan untuk melanjutkan besok.
“Eh kek nya akademik udah tutup deh. Kita lanjutin besok aja ya.” Pintaku pada Mantha dan Gadis.
Mereka serempak mengiyakan. Kamipun berbarengan menuju tempat parkir. Berpamitan sementara.
Hari ini aku sangat lelah. Akan tetapi, aku sedikit senang. Kehadiran Gadis membuatku merasa punya teman baru yang supel. Yang feeling ku mengatakan, bahwa aku akan bertemu Gadis kembali. Dengan suasana dan sentuhan friendly asyik yang ia berikan. Di tengah jenuhnya ndaftar sidang.
Benar adanya. Esoknya aku kembali bertemu dengan Gadis dan Mantha. Kami kembali berbaur. Menjadi bagian dari lorong jurusan. Ritual menunggu sepertinya masih harus kami jalani.
Ah, aku sedikit tak mempersoalkan. Karena kini, aku mengenal sosok Gadis yang juga berjuang bersama, yang memberikan suasana berbeda, yang lebih asyik. Aku berkata pada diriku sendiri, sekaligus mencoba menghibur diri.
Tetiba di lorong jurusan, aku sudah mendapati Gadis duduk di kursi biru. Segera ku hampiri dia.
“Hai Gadis, hari ini kamu nyari siapa?” Aku mulai menyapanya, sambil mengambil tempat duduk di sampingnya.
“Nyari dosen nih, mau ngasih surat. Kalo kamu?”
“Aku juga. Ya udah kita tunggu aja di sini.”
Percakapan itu mulai memasuki kamus hariku. Kata demi kata terangkai menjadi obrolan yang menyenangkan. Begitulah hariku dengan Gadis. Bercanda tawa, membunuh rasa jenuh, membuang rasa bosan, dalam ritual yang disebut menunggu. Seorang gadis yang membuatku merasa ngrentek hati itu benar-benar nyata. “Apakah ini yang dinamakan suka pada kesan pertama?” Aku bertanya dalam hati, sekali lagi. Entahlah, yang pasti aku masih menjadi aku yang seolah aku berteman biasa dengan Gadis. Padahal ada hal special yang kusembunykan darinya.
Hari demi hari ku lalui. Tiap hari pasti aku ke lorong jurusan. Dan pasti ada Gadis di sana. Seakan, lorong jurusan adalah tempat pertemuan yang belum tersepakati oleh kita sebelumnya.
Sapaan demi sapaanpun aku sapakan ke Gadis.
“Hai Gadis, nyari siapa hari ini?”
“Gadis, udah ketemu dosen belum?”
“Semangat pagi Gadis, ruang sidang mu jadinya di mana?”
Begitulah caraku mendekatinya. Mungkin itu terlihat sapaan biasa. Tapi bagiku itu adalah cara terbaik yang bisa ku lakukan agar bisa dekat dengannya.
Bagaimana dengan tanggapan Gadis? Sudah bisa ku tebak. Dia slalu dengan lembut membalas sapaanku. Entah karena dia yang benar-benar supel. Atau dia yang sebenarnya sebel dengan sikapku, berusaha sabar menghadapiku. “Haha.” Aku menertawakan kekonyolan diriku sendiri. Entahlah, semoga itu hanya pikiran negatifku.
Sepertinya aku benar-benar mulai menyukainya.
Akan tetapi. Semua berubah ketika ujian skripsi telah usai. Ketika aku benar-benar mulai menyukainya. Saat itulah aku mulai disadarkan bahwa realita tidaklah seindah mimpi.
Saat sehari seusai sidang, aku menjelma menjadi seorang stalker. Mencari tahu sosmed nya. Pertama ku dapat adalah akun instagramnya. Segera ku add, dan akupun tinggal menunggu konfirmasi darinya. Masih penasaran, tiba-tiba aku ingin mencoba chat dirinya. Akun Line adalah aplikasi chat yang pertama kupikirkan, mengingat ada grup angkatan yang pastinya ada akun si Gadis. Benar juga, Gadis ada di sana. Segera ku add akun Line nya.
Betapa kagetnya aku. Kudapati dp mu bersama dengan seorang cowok, yang sejurus kemudian langsung kusimpulkan bahwa itu adalah cowokmu. Tak lamapun aku cek ig mu, yang juga telah kamu konfirmasi. Ah, sial. Banyak foto di ig mu yang begitu menyiratkan bahwa kamu telah memiliki cowok.
Seketika aku langsung memutuskan diri untuk menyerah. Menyadarkan diri dan mengingat kembali bahwa realita tidaklah seindah mimpi.
“Hai, siapa kamu? Bukankah ini bukan akhir dari segalanya? Kenapa kamu begitu sedih melihat Gadis memiliki pacar?” Begitulah caraku memotivasi diri. Berkata dalam hati. Menguatkan diri, bahwa ini bisa kulalui tanpa ada yang harus ku khawatirkan.
“Okay. Aku sudah sadar. Dan aku sudah memutuskan. Bahwa ini memang realita, yang harus aku jalani.”
Di hari akhir menjelang penutupan pendaftaran wisuda, aku masih berusaha dekat dengan Gadis. Berperilaku seperti biasa, seolah tak terjadi apa-apa denganku.
“Sial, kenapa di akhir hari pendaftaran wisuda yang ku pikir ini adalah hari terakhirku bisa bersamanya, malah terasa begitu akrab.” Begitulah aku menggerutu. Betapa tidak, hal-hal konyol malah aku alami di hari-hari menjelang penutupan pendaftaran wisuda.
“Mas, nitip tas ya?”
“Mas, sekalian urusin kartu bebas perpusku dong”?
“Mas, besok tolong kabarin kalo ada Ibu ketua jurusan ya?”
Begitulah dia. Mulai begitu terbiasa meminta bantuanku. Ah, betapa senangnya aku.
Hingga hal paling nakal, sempat aku dengar dari candaannya di lorong jurusan pada hari-hari akhir pendaftaran wisuda itu.
“Gadis, mau ke mana?”
“Ke kamar mandi bentar. Mau ikut?”
“Hahaha.” Aku hanya bisa tertawa mendengarnya. Meski bagian jahatku ingin menjawabnya “Ayuk.”
Hal termanis dari candaan Gadis yang ku ingat adalah, saat ia benar-benar terlihat capek dan kesel.
Saat itu aku tetap bertanya padanya.
“Gadis.” Cuma ku panggil namanya. Karena ku lihat dia sibuk banget melengkapi berkas.
“Hiiih.” Begitu jawabnya dengan nada agak marah.
"Kamu marah ya?"
"Hiih. Iya aku tuh lagi sebel." ucapmu seraya menatapku dengan ekspresi marah seperti pada emoticon Whatsapp.
"Kalo marah pukul saja pipiku." Tanpa berpikir panjang terlebih dahulu, tiba-tiba aku berkata seperti itu. Hai, bodohnya aku. "Ah, tawaran konyol macam apa ini."
Tapi tiba-tiba, dengan sedikit menahan senyum di sela marahmu, kamu menatapku dan mencoba memukul pipiku.
Ah, kenapa tidak kau pukul beneran saat itu. Aku pasti senang menerimanya.
Dipenghujung sore di akhir penutupan pendaftaran wisuda. Kau bertanya padaku.
“Mas, kamu kan udah daftar wisuda dari kemarin. Kenapa kamu masih saja ke kampus?”
“Karena aku ingin memastikan, kamu juga bisa daftar wisuda di periode ini.”
Seminggu telah berlalu. Aku mulai bisa menjalani realita tanpamu lagi, di lorong jurusan.
Tapi Gadis, ketahuilah. Aku masih berharap saat itu bisa terulang kembali. Perasaan ini bukan layaknya kapal yang singgah sementara di pelabuhan lalu berlayar kembali.
Meskipun benar kau telah memiliki pacar. Meskipun mungkin juga benar kau menganggap ini hanya kebersamaan sesaat. Tapi kuyakinkan padamu, bahwa aku akan menyimpan ini selamanya. Mengunci erat, dan memberikan kuncinya padamu. Berharap suatu saat kau akan membukanya. Karena yang pasti, “Damn, i like u!”