Saat aku menatapmu, hal pertama yang terbesit adalah tanya:
“Kenapa aku menatapmu?”
Seperti retoris. Tapi sebuah alasan pasti ada. Bukan tiba-tiba aku menatapmu. Bukan pula sebuah takdir. Jika yang dibahas adalah takdir, maka cerita tak akan tertulis.
Aku mencoba menyelami, mencari jawaban untuk sebuah pertanyaan, agar ambigu tidak muncul ketika aku menatapmu.
Hal yang wajar kemudian muncul, mencoba memberi jawaban atas beberapa kemungkinan kenapa aku menatapmu.
Pertama tentu saja karena kau menyapaku. Hal selanjutnya agar wajar itu berlanjut adalah aku menatapmu. Bertanya kenapa kau menyapaku, lalu dialog mulai terangkai.
Kedua adalah kebalikan yang Pertama, yaitu aku yang menyapamu. Mungkin tak menghiraukan sapaan adalah pilihan. Tapi menjawab sapaan dengan menatap penyapa adalah harapan terbaik.
Menuju ke masa berikutnya, anggap saja intro sapa sudah selesai. Karena saat ini dua insan sudah terjalin dialog cukup panjang dengan diorama wajah yang saling menatap.
Seketika aku menjadi seorang multitasking. Disaat yang sama aku melakukan pekerjaan dialog denganmu agar narasi berjalan sepaham. Diwaktu yang sama pula aku menyelami keindahan wajahmu, merekam tiap lekuk bagian wajahmu, dan merangkainya dalam untaian kalimat.
Mungkin saat ini yang kau dengar adalah ucapanku menjawab setiap pertanyaanmu dalam dialog yang kita bentuk. Tapi ketahuilah, saat aku menjawab pertanyaanmu melalui suara yang timbul dari mulutku, hatiku juga berbicara.
“Besok aku akan hadir di acara itu.” Kata mulutku.
“Lentik matamu seperti ekor Cenderawasih saat mekar.” Kata hatiku.
Begitulah yang terjadi. Peraduan mulut dan hati bersamaan mengucapkan informasi yang ditujukan kepadamu.
Terbesit aku untuk mengkonversikan ucapan hati agar bisa terucap melalui mulut. Tapi seketika nafasku mematung, seakan menghadang laju informasi yang meluncur dari hati menuju mulut.
Ada semacam abstrak yang muncul dari otak, dan mungkin ini penyebab hati tak terucap. Sulit untuk menerjemahkan apakah gerangan.
Pergulatan seperti ini terus berlanjut setiap kali aku menatapmu. Dibalik ribuan dialog yang kita bangun, tersembunyi ribuan pesan yang ingin disampaikan hati.
Bahkan pernah suatu ketika. Hati ini begitu liar ingin menghujam saat menatapmu. Saking lamanya memendam, hingga hati begitu kuat ingin merobek jeruji penahannya.
Terkaman hati tiba-tiba ingin mencengkeram pipimu. Tikaman hati tiba-tiba ingin mungusap rambutmu. Hingga bahkan tusukan hati ingin menancap jauh ke dalam mata binarmu.
Tapi hal itu berulangkali gagal terwujud. Hukum Jinchuriki seolah melekat kuat dalam diriku. Bukan tanpa alasan, kejadian ini terjadi karena kamu.
Saat aku menatapmu, yang kulihat adalah kesabaranmu menghadapi kehidupan.
Saat aku menatapmu, yang kulihat adalah kesetianmu menemani dalam suka dan duka.
Saat aku menatapmu, yang kulihat adalah integritasmu menjalani prinsip moral dan nilai inti yang kuat sebagai penuntun hidup.
Saat aku menatapmu, yang kulihat adalah kehormatanmu dalam menghargai.
Saat aku menatapmu, yang kulihat adalah kepemaafanmu dari setiap sakit yang kau terima.
Saat aku menatapmu, yang kulihat adalah kesopananmu dalam bertatakrama
Saat aku menatapmu, yang kulihat adalah ketekunanmu dalam membangun hidup
Lantas, aku harus bagaimana?
Adakah yang bisa kuperbuat selain mengikuti arus yang kau ciptakan?
Atau mungkin ini adalah arus Tuhan?
Bagaimana mungkin aku melawan irama dalam arus yang tercipta begitu sempurna, sementara aku tak mungkin menuju muara tanpa mengikutinya.
Sepertinya hati ini akan kuikat erat dalam rantai raga hingga jiwapun takkan mampu menembusnya.
Entah sampai kapan, tapi yang pasti kuncinya ada pada dirimu. Aku akan menjaganya hingga kamu yang akan menyerahkan kunci itu padaku.
Aku akan menikmatinya, membersamaimu menyusuri arus dari setiap tatapan yang kau berikan. Tatapan yang membuatku merasa bahwa kau adalah kesempurnaan.
Begitu sempurnanya dimataku hingga seolah Tuhan menatapku ketika aku menatapmu.
Karya: Mas Gakusei
Post a Comment