Penulis: Asrobul Anam/1804046061/KKN RDR 77 UIN WALISONGO
Maraknya istilah hijrah dan mudahnya menyandang status ustadz belakangan ini menimbulkan musibah besar dalam agama karena ketidaksesuaian antara lafadz dan maknanya. Fenomena itu menjadikan problem keagamaan bagi masyarakat umum karena keterbatasan pengalaman dan ilmu dalam menyikapi kaidah-kaidah dalam agama. Istilah hijrah dan pelabelan ustadz itu jika hanya bungkusnya saja yang menarik tapi kosong akan isinya dapat menyebabkan boomerang bagi agama dan pemeluknya. Karena didalam kehidupan ini masih banyak masyarakat yang bersifat konsumtif sehingga perlu kehati-hatian dalam menggunakan istilah apalagi mengenai istilah dalam agama. Padahal dalam sebuah maqolah disebutkan “Hidup beradab bukan biadab”.
Sebagaimana kalimat yang sering mereka senandungkan yaitu, masuklah kalian dalam islam secara kaffah. Pemaknaan ayat udkhulu fissilmi kaffah secara gramatikal bahasa arab dan kaidah dalam disiplin ilmu balaghah bukan bermakna seperti yang mereka serukan. Diksi kaffah dalam bahasa arab tidak pernah menjadi isim sifat. Padahal untuk memaknai ayat itu asalnya dalam ilmu nahwu yaitu, udkhulu antum kafaitukum fis-silmi. Sehingga ketika mereka tetap memaksa menggunakan istilah “Islam Kaffah” merupakan pemerkosaan gramatika Bahasa Arab (Agus Maftuh A). Mafhum mukhalafah nya orang-orang yang hijrah latihan dan ustadz amatiran itu harus berbuat sama persis apa yang dikatakan dan dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. sedangkan dari segi zaman dan geografis pun sangat berbeda jauh dengan zaman yang terjadi pada saat ini. Sebagaimana dawuh dari Kyai Ali Ma’shum dalam muktamar Nahdlatul Ulama bahwa, islam harus sholih fii kulli zaman wa makaan. Sehingga dalam golongan ahlussunnah wal jama’ah dikenal adanya madzhab.
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa,“Lisaanul haal afshohu min lisanil maqal wa ahammu min ‘ibadati binafsih”. Sehingga, bukan gaya bahasanya yang indah tapi tindakannya yang mashlah dengan dilandasi sikap ketawadlu’an dan tadharru’. Antara mantuq dan mafhum nya harus sesuai. Sebagaimana yang telah dicontohkan oleh para ulama salaf bahwa apa yang dikatakan itu indah maka tindakannya pun harus maslahah pula, baik itu dari segi keilmuan dan keadaan. Pada intinya, istilah hijrah harus sesuai makna hakikatnya dan tujuannya serta label ustadz harus sesuai juga dengan karakteristiknya baik dari ucapan, tindakan, pola pikir, dan keilmuannya. Dengan demikian, konstitusi keilmuan akan tetap terjaga sesuai tujuan awalnya.
Kesimpulannya bahwa, istilah hijrah dan pelabelan ustadz harus sesuai dengan kualitas bobot akan makna dan sejarahnya karena dalam islam itu sangat menjunjung tinggi ilmu sehingga untuk menjaga kemurnian dan kelestarian itu perlu adanya sanad keilmuan sehingga tidak mudah menggunakan akalnya pribadi untuk menafsirkan istilah hijrah dan mengklaim dirinya pantas menyandang status ustadz. Betapa pentingnya sanad ilmu dikuatkan dengan hadits man ta’allama bila syaikhin fasyaikhuhu syaithan. Hal itu diwanti-wanti dari maqolahnya seorang pengamat yang mengatakan bahwa yamuutu man min saatil lisan laa min saqthir rijla (terjemah Bahasa Jawa: matine wong iku sebab keplesete lisan dudu kerono keplesete sikil).
Tim redaksi: Edukratif News