Oleh: Setia Budhi
Antropolog Universitas Lambung Mangkurat (ULM)
EdukratifNews.com/Artikel - Hari itu Senin, 14 Maret 2022, di titik nol kilometer Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, disebuat tempat di Panajam Paser Utara PPU, sebuah upacara berlangsung, sepertinya sangat khidmat. 34 Gubernur se-Indonesia berdatangan, diminta membawa 1 liter air dan 2 kilogram tanah, berasal dari daerah masing-masing.
ENTAH mengapa hari itu mentari sangat terik, suhu udara menyengat naik boleh jadi pada 33 derajat celcius. Konon itu adalah kawasan kensesi tambang yang telah habis masa produksinya. satu peserta dikabarkan pingsan, sementara peserta lain mengeluh kepanasan. tetapi upacara harus segera dilakukan, seperti mengejar waktu.
Formasi dibuat melingkar, peserta dengan berpakaian dinas berada di barisan depan, baris kedua para ajudan dan baris paling belakang terluar adalah para lelaki terlihat elegan dengan kepala berhias bulu burung Tingang (baca Enggang). Barisan belakang itu terlihat berdiri agak rileks. Kecuali para peserta di lingkaran depan berdiri tegap dan serius mengikuti prosesi upacara.
Satu buah Balanai atau Belanga berdiri di titik tengah lingkaran, berwarna merah bata bergambar burung Garuda. Di titik itu Presiden dengan baju putih celana hitam, sepatu hitam dan bagan sol bawah berwarna putih. Terlihat sepintas Gubernur Kalimantan Timur. Seorang perempuan terdengar dengan suara berat, membacakan susunan acara.
Saya berdiri 472,3 Km dengan jarak tempuh perjalanan diperkirakan 11 jam 29 menit dari Selatan Kalimantan, menyaksikan upacara bertajuk Kendi Nusantara, melalui channel Youtube. Satu per satu dari 34 peserta maju ke depan, membawa Kendi, mula mula Kendi berisi Tanah, penutup Kendi di buka, tanah ditumpahkan ke dalam Balanai.
Kendi yang sudah kosong kemudian diserahkan kepada Laki-Laki berpakaian adat Dayak. Seterusnya Kendi kedua berisi air, sama seperti yang pertama, penutup Kendi dibuka, air itu kemudian di tumpahkan atau dikucurkan ke Balanai, Kendi yang sudah kosong kemudian diserahkan kepada laki laki berpakaian adat Dayak.
Saya menghentikan menonton Youtube itu, sambil menerawang ke ingatan ke Gunung Lumut di Penajam Paser Utara, tahun 2005 ekspedisi ethnografi Hukum Adat Dayak Paser. Air mata tiba-tiba merayap di pipi, menyaksikan lelaki yang gagah di upacara itu. Ia dengan bangga perpakaian adat Dayak, warna merah. Di upacara itu ia bagian dari sebuah lingkaran terluar, bertugas menerima Kendi yang sudah kosong.
Aliran darah terkesiap, saya lalu bertanya apakah seperti itu gambaran masa depan Dayak yang diwakili pemuda gagah, menerima Kendi bekas tanah yang di tumpahkan, dan bekas air yang tekah dikucurkan?
IKN ini berada di lembah Gunung Lumut, mengingatkan saya pada upacara Balian Dayak Paser. Prosesi upacara balian terdiri dari tiga tahap, Pertama tahap persiapan yaitu penyelenggara mempersiapkan perlengkapan. Kedua, tahap kegiatan inti yaitu seorang Mulung menari bersamaan dengan pembacaan mantra penyembuhan. Ketiga, tahap penutup yaitu penyadaran mulung, pengusapan air dan pengembalian peralatan upacara.
Makna dari dilaksanakannya upacara Balian adalah perjuangan hidup, keharmonisan, kesejahteraan, keselamatan, moral baik,dan pembuka rezeki, makna memohon perlindungan, mengingat tuhan, dan mengingat alam kehidupan. Fungsi upacara balian adalah upaya penyembuhan, sebagai media penghiburan masyarakat dan penghubung masyarakat suku Paser terhadap roh leluhurnya.
Suku Paser merupakan rumpun masyarakat suku Dayak yang masuk wilayah geografis Kalimantan Timur bagian selatan. Suku bangsa Dayak Paser masih berkerabat dengan suku Dayak Benuaq, Dayak Tunjung dan Dayak Bentian.
Pada pelaksanaan upacara Balian terdapat tari Gitang, tari Gitang pada dasarnya merupakan tari mengusir roh jahat namun kini juga sebagai hiburan bagi masyarakat yang ikut pelaksanaan upacara balian sebagai media pertunjukan dan juga pengobatan.
Selanjutnya fungsi dari alat musik yang diperuntukan untuk mengundang makhluk halus, yaitu berupa alat musik gendang besar, gendang, tengkanong, lumbak, gambus 3 buah jimbe, suling, gong, dan gambang yang berfungsi juga sebagai penambah meriah prosesi ritual. Pada fungsinya ritual merupakan sesuatu yang melambangkan komunikasi dengan Tuhan, dan juga pada kenyataannya ritual merupakan wujud dari pelestarian kebudayaan atau sebuah tradisi.
Nun dari kejauhan saya menyaksikan mobil dan motor dengan leluasa masuk kawasan yang di area itu masih milik adat. Hilir mudik dan deru menderu , pun mengingatkan saya pada peristiwa sakral di Dayak Ngaju. Bahwa jika engkau menapaki kampung, engkau haruslah beradat dan beradab, maka oleh sebab itu jangan buka dan hunus Mandau itu sebelum Pantan terlewati, begitulan upacara Potong Pantan.
Prosesi Potong Pantan berarti menjauhkan halangan atau rintangan, sehingga para tamu yang ingin masuk ke suatu tempat di daerah ini harus melewati Pantan. Makna dari potong pantan adalah ungkapan rasa bangga dan sukacita, serta simbol dari upaya untuk menghalau firasat buruk dan segala sesuatu yang dapat menjadi penghalang atau rintangan.
Upacara potong pantan diselenggarakan dengan harapan supaya para tamu yang memotong pantan akan selalu mendapat perlindungan dari Sang Pencipta Alam Semesta atau Yang Maha Kuasa. Para tamu tersebut diharapkan akan dianugerahi kesehatan, umur panjang, rezeki yang berlimpah dan kesuksesan dalam melaksanakan tugasnya. Pemimpin upacara ini adalah Mantir, Damang atau kepala-tokoh adat. Upacara memulai pelaksanaan potong pantan, setelah Pantan berhasil dipotong menggunakan Mandau, barulah para tamu dipersilahkan masuk.
Upacara adalah simbolik. Tanah dan Air adalah simbolik. Balanai adalah simbolik yang bersinergi dengan alam, sebagaimana di Dayak Ngaju yang mengenal pohon prinsipal Batang Garing dalam kosmogoni Dayak Ngaju yang membuatnya menjadi simbol religious. Batang Garing atau Pohon Kehidupan juga melambangkan keseimbangan atau keharmonisan hubungan antara sesama manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan.
Sebuah triangulasi. Batang Garing dengan Balanai/Balanga menyimbolkan dua dunia, dimana dunia atas dilambangkan dengan Pohon kehidupan dan dunia bawah dengan dilambangkan dengan Balanai/Belanga, tetapi terikat oleh satu kesatuan yang berhubungan serta membutuhkan. Sementara buah yang ada pada Batang Garing melambangkan sebuah kelompok dari umat manusia.
Dimana kedua buah tersebuat ada yang mengarah ke atas dan juga ada yang mengarah ke atas adalah sebagai pengingat bagi manusia untuk selalu menghargai antara sesama. Jadi Tempat asal dari manusia yaitu ada di dunia atas atau Lewu Tatau.
Apakah IKN sebagai kawasan tidak bertuan, dan jika pun para tuan memasuki wilayah itu, masih adakah sedikit kata yang selama ini telah menjadi sumber pengetahuan lokal kita “dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung”.
Sayup sayup tersiar kabar, lembaga keuangan dunia menyentil Nusantara, waspadalah menggunakan uang di tengah utang yang terus berlipat, pun juga Jepang telah menyatakan angkat koper di IKN, padahal upacara baru saja dimulai.
Sumber: jejakrekam.com
Pasang Iklan: Klik Disini