Ada Baiknya Menjadi Warga NU Garis Netral

kali dibaca

Sumber gambar : timesindonesia.co.id
(Sumber gambar: timesindonesia.co.id)

Saya tumbuh membesar dalam lingkungan keluarga Nahdlatul Ulama (NU) yang sangat kental. Almarhum Bapak saya yang mengikuti jejak Almarhum Kakek, mengamalkan praktik ahlu-sunnah wal jamaah mazhab Syafi'i dalam kesehariannya ketika beribadah. Beliau bahkan benar-benar sangat fanatik dengan sosok Gus Dur. Jauh sebelum Jaringan Gusdurian ada.

Saat saya masih duduk di bangku taman kanak-kanak, tepatnya ketika gelombang era reformasi mulai ramai digaungkan, Almarhum Bapak saya seusai terkena PHK, merupakan salah satu sosok garda terdepan yang turun ke jalan, berkampanye mengibarkan panji Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Ingatan itu masih jelas melekat karena saya turut serta duduk di atas tangki motor Honda GL yang kami berdua kendarai. Memakai atribut ikat kepala berwarna hijau dengan logo gambar bumi berpeta Indonesia dilingkari sembilan bintang. Selain karena fanatisme juga sebagai luapan rasa marah imbas kekecewaan mendalam terhadap krisis moneter.

Sebenarnya dalam situasi itulah PBNU dan PKB, sepengamatan saya, menjadi satu kesatuan yang teramat penting dalam upayanya menjadi landasan pergerakan sekaligus corong suara rakyat, utamanya warga NU. PBNU berfokus menjaga marwah orisinalitas cara beragama, memunculkan sosok Gus Dur dengan kritik-kritik keras terhadap ICMI yang berpolitik praktis. Sementara PKB mengakomodir pemikiran politik warga NU sehingga menjadi pionir lahirnya kisah legendaris koalisi poros tengah.

Kalau dahulu keduanya merupakan wadah ekspresif warga NU yang jadi satu kesatuan, kini malah berbanding terbalik sangat jauh. Baik PBNU maupun PKB tidak lagi sejalan, sepemikiran. Justru sebaliknya, saling sikut dan menuding antar sesama yang melakukan kesalahan dalam perkara menjalankan masing-masing peran.

Setelah berbeda pendapat dalam kontestasi pemilu presiden (pilpres) awal 2024 lalu, kini muncul lagi konflik baru. Yaitu persoalan disepakatinya panitia khusus (pansus) angket haji di DPR yang mendapat respon miring dari Ketum PBNU, Yahya Cholil, menuding pansus angket haji muncul akibat permasalahan pribadi antara dirinya dan Pemimpin PKB, Muhaimin Iskandar. Cak Imin sendiri posisinya sebagai ketua tim pengawas haji yang terjun langsung memantau pelaksanaan haji tahun 2024.

Terkait persoalan tersebut, PBNU benar-benar terlihat reaktif karena Sekjen Saifullah Yusuf, menyatakan PBNU perlu ada tim khusus untuk mengembalikan PKB pada sejarah. Alias pulang ke pelukan PBNU. Timsus ini bahkan bekerja sejak beberapa waktu lalu.

Cukup menyedihkan ketika menyaksikan perang antar-elit membuat dua lembaga yang disayangi warga NU ini terus menerus terbelah. Berkaca dari kondisi terkini, ada baiknya PBNU sebagai organisasi masyarakat kembali lagi pada konsep awal. Yaitu, tidak turut serta terlibat aktivitas politik praktis. Sementara PKB yang dinilai sebagai inisiator pansus panses haji juga harus benar-benar objektif menilai persoalan.

Selain itu, hal-hal ini tentu harus disadari bersama, utamanya warga NU di daerah. Warga NU sekarang perlu menyatakan sikap yang tegas untuk berusaha mengingatkan kedua belah pihak dan bersikap netral. Netral di sini bukan berarti acuh tak acuh melainkan bersikap adil menilai, mempelajari persoalan apa yang ada di NU dan turut serta berperan aktif untuk terus membentuk wajah NU yang ahlu-sunnah wal jamaah dalam kegiatan beribadah sehari-hari.

Memang sangat berat, lebih-lebih selepas muncul persoalan konsesi tambang. Warga NU yang sebelumnya menyatakan diri sebagai aktivis lingkungan, tentu serasa sangat terluka hatinya. Kiai kok nambang? Halah mbuk ya lebih baik belajar nembang, meneruskan ikhtiar Sunan Bonang!


Penulis: Resza Mustafa

Tulis Komentar

Previous Post Next Post