[Epilog]
Delapan tahun silam.
"Eyang, timur datang!" teriakku. Timura Chayana, nama yang menurutku paling cantik karena pemberian Bundaku sendiri. Sayangnya sudah lima tahun aku tidak pernah bertemu Bunda. Tidak apa, masih ada Eyang yang sangat menyayangiku. Hari ini aku baru saja pulang dari sekolah dan Eyang menyambutku dengan sunggingan senyum di bibirnya. Senyum terindah yang pernah kulihat di wajah dia yang keriput. Kemudian dia mengusap kepalaku pelan.
"Gimana tadi, Nduk. Sekolahnya?"
Ah, tidak. Pertanyaan yang paling kuhindari sejauh ini muncul dari Eyang. Aku hanya tersenyum ke arah dia. "Baik kok, Eyang," jawabku. Eyang tersenyum, "Syukurlah, ya sudah, ayo sini makan dahulu! Eyang masak banyak buat kamu," seru Eyang mengajakku. Aku mengangguk.
Sejujurnya aku tidak ingin membohongi Eyang tapi aku tidak mau dia khawatir. Tentang sosok teman, ya, aku hanya punya satu atau dua saja. Menurutku memiliki teman banyak tidaklah penting, lebih-lebih ketika teman tersebut hilang bila aku sedang kesusahan. Aku berjalan di belakang Eyang lalu duduk di kursi tempat makanku. "Mau yang apa ulamnya, Nduk?" tanya dia sembari menawarkan berbagai jenis makanan.
Setelah beberapa lama berbincang dan makan bersama Eyang. Aku lantas pergi ke kamar untuk bersih-bersih. Aku beristirahat dan tertidur pulas di atas kasur hingga tanpa sadar waktu malam tiba. Aku duduk di kursi yang berada di tepi kamar, pandanganku jauh melihat ke luar jendela sembari memandang langit malam yang tampak indah. Tiba-tiba muncul wajah seorang laki-laki mengintip.
Aku terkejut bukan kepalang. Membuatku hampir berteriak namun laki-laki kecil itu menyuruhku diam, "Sssttth... Jangan teriak!"
Napasku serasa terengah-engah, "Kamu siapa? Kenapa mengintip dari balik jendela kamarku?"
Dia tersenyum, "Aku Sanggar, Timur,"
***
Penulis: Sandrina Diva Mattarani
Penyunting: Resza Mustafa
#cerbung #ceritabersambung
Post a Comment