Antara Jarak dan Waktu [02]

kali dibaca


[Chapter 1]


"Timur! Kamu bawa bekal lagi?" tanya Diana, Diana Sindhani. Teman sebangku ku. Oh iya, sekarang aku duduk di kelas 10 SMA. Tak jarang aku mendapat pertanyaan ataupun komentar dari teman sekelasku karna aku terus membawa bekal dari rumah. Ini juga Eyang yang melarangku untuk membeli makanan di luar, pasti kalian tahu, bagaimana khawatirnya seorang Eyang kepada cucu perempuan satu-satunya? Khawatirnya melebihi seorang pacarku sendiri.


Mendengar ucapan Diana aku pun menoleh sembari mengangguk pelan. "Bagaimana bisa kau hidup sesehat itu, Timur?"


Dia tanya, "Bagaimana?" Padahal alasannya sesimpel itu, loh! Yang benar saja?


"Karena aku tidak mau mati muda," jawabku, membalas. Lagipula masakan Eyang jauh lebih enak daripada jajan di luar sana. Kecuali satu, cokelat. Karena terlalu asyik bercanda, kami berdua sampai tidak sadar kalau bel tanda masuk ke kelas telah berbunyi, dan Guru kami pun memasuki kelas.


"Pagi, semuanya!" sapa Guruku berseru.


"Pagi, Pak!" jawab kami serentak. Pak Oga, wali kelas sekaligus Guru Bahasa Indonesia di kelasku. Pak Oga tersenyum ke arah kami semua. Orangnya humoris, gaul pula. Tiba-tiba, Pak Oga menatap ke arahku. "Timur, sini sebentar!" panggil Pak Oga.


Apa? Aku? Entahlah aku maju saja. Aku melangkah ke arah Pak Oga, tepat berada di depan teman-temanku. Jujur, aku tidak tahu apa yang terjadi. "Ya! Anak-anak semuanya, besok Timur akan diberangkatkan lomba antar provinsi untuk mewakili sekolah kita bersama anak kelas 10 IPA!".


Tiba-tiba? Tunggu, aku tidak paham. Aku menoleh ke arah Pak Oga. "Maksudnya bagaimana, Pak?" tanyaku. Pak Oga justru tersenyum membalas. "Maaf ya, Timur. Kemarin saya diberitahu oleh Kepala Sekolah tapi badan kurang sehat, jadi saya lupa," terang Pak Oga.


"Ya, memang 2 minggu lalu aku baru saja memenangkan lomba puisi dan mungkin mereka mengajukanku karena ingin aku mengharumkan nama sekolah. Tuhan, kalau saja boleh teriak aku sangat ingin berteriak sekarang. Serius! Aku menatap Pak Oga sayu, "Pak, harus banget saya, ya?" tanyaku, karena aku benar-benar malas.


Pak Oga mengangguk yakin dan sekarang satu kelas sedang menyorakiku dengan pujian yang sangat banyak ragam macamnya. "Karena kamu sudah pernah ikut lomba Timur, jadi banyak pengalamannya,"


Lomba puisi? Benci! Aku sangat benci dengan lomba itu. Tapi mau tidak mau aku harus melakukannya. Aku menghela napas pelan, lalu mengangguk ke arah Pak Oga. "Baik, Pak. Saya mau," seraya teman satu kelas bertepuk tangan riuh. Ini yang aku benci, berisik. Ah, aku terpikir sesuatu.


"Pak, saya sama siapa besok?"


Pak Oga mendongak, sepertinya ia sedang berpikir. "Saya lupa. Eh, saya ingat!"


"Siapa, Pak?" tanyaku.


"Sanggar Dayadhi,"


Apa? Aku tidak salah dengar kan? Sanggar?


***


Berjam-jam aku termenung memikirkan hal tadi dan sekarang waktu yang kutunggu akhirnya sampai juga. Bel pulang sekolah berbunyi. Aku meninggalkan bangku dan segera mungkin menuju ke rumah. Menemui dia. Setelah 10 menit aku menaiki angkutan umum, akhirnya aku sampai di depan rumah kepunyaan Eyang. "Eyang, Timur pulang!" seruku yang lantas menelusuri setiap sudut-sudut ruangan, mencari keberadaan Eyang.


Ketika sampai di dapur, aku baru ingat. "Ah, Eyang sedang pergi!" sebat setelah kutaruh tasku di tempatnya, aku langsung ke luar rumah dan berlari ke salah satu rumah pohon yang tidak jauh jaraknya dari rumah Eyang. Aku mendongak ke atas rumah pohon tersebut. "Sanggar! Aku tahu kau di dalam!" seruku menjerit. Ya, Sanggar, teman laki-laki pertamaku di Kota Bandung. Tiba-tiba, rseparuh wajahnya muncul dari jendela itu, "Timur, ayo naik!" ajak dia sembari tersenyum.


Karena aku tidak mau naik, akhirnya dia yang mengalah turun dari rumah pohon. Lantas menanyaiku.


"Ada apa, Timur?" ucap dia disertai mimik muka yang tampak lugu. "Kenapa tidak bilang? Kau sekolah di satu sekolah yang sama denganku. Anehnya aku tidak pernah melihatmu selama satu tahun ini," kataku pada Sanggar. Belum selesai aku bicara, dia menghentikanku dengan jari telunjuknya sebagai pertanda untuk diam. "Tenang, tenang," ucapnya lembut.


"Ada alasannya, Timur,"


"Apa?" Balasku dengan cepat. Lagi dan lagi, dia tersenyum. Lalu duduk di ayunan yang terbuat dari kayu dan tali. "Karena aku ingin melihatmu tanpa harus diketahui olehmu. Melihat kamu tertawa dari jauh itu sudah sangat cukup. Tapi andai hal itu mengganggumu, aku mengerti kok, Timur," kata Sanggar.



Penulis: Sandrina Diva Mattarani (@sndrinadiv)

Penyunting: Resza Mustafa


#cerbung #ceritabersambung


Tulis Komentar

Previous Post Next Post