Sajian Hangat Kedai Kobar di Pati Utara

kali dibaca


Cikal bakal eksisnya kedai sederhana bernama Kobar sebenarnya sudah ada sejak lama. Juna sebagai pemilik kedai, merupakan sahabat lawas yang saya kenal ketika masih merantau di Semarang. Tepatnya di pinggir Jalan Raya Desa Patemon, Gunungpati, Semarang, Juna menjalankan usaha kedai bernama Angkringan Jawi dengan menu andalan nasi bakar bersama sahabatku yang lain, Zacky Alchoiry. Ketika Bung Zaki kini tengah mengudara alunan musiknya bersama @fantasikamarsepi Juna justru masih teguh untuk terus membuka usaha kuliner.


Angkringan Jawi selalu mengingatkan saya bagaimana rasanya menikmati malam panjang di Semarang. Kawasan Gunungpati sempat menjadi tempat tinggal selama satu tahun penuh bersama sahabat seperjuangan di perantauan. Berteman segelas es madu dan beberapa tempe bakar yang meski harganya sangat murah tapi terkesan tidak murahan karena makna yang menyertai sebagai bentuk penghormatan melarisi dagangan sahabat. Terkadang menu pesanan itu bahkan saya racik sendiri.


Seiring berjalannya waktu, Juna melanjutkan keberanian untuk terus membuka kedai. Medio tahun 2020 merupakan saksi kegigihan dia menjaga denyut nadi angkringan khas orang Jawa melalui kehadiran Kedai Kobar. Pulang ke Pati seusai merantau dan melanglang buana di banyak kota, Juna bergerak cepat menyewa sebuah tempat di sudut Desa Ngagel, Dukuhseti, Pati.


Sepinya pengunjung kedai akibat dampak pandemi Covid-19 tidak menyurutkan niat Juna mengelola kedai. Dia selalu yakin, niat mencari rezeki akan selalu menemui jalan yang lapang. Keyakinan tersebut terbayar setelah Juna berhasil menghidupkan Kedai Kobar melalui bantuan dari orang-orang sekitar.


Ketika situasi buntu, Juna merasa banyak keajaiban terjadi, banyak warga desa memberi dia uluran tangan. Bahkan bantuan tersebut bukan bentuk yang sepele. Bantuan berupa kompor hingga seperangkat sound system dipinjamkan secara sukarela ke Kedai Kobar. Hal inilah yang kelak memicu munculnya Komunitas Patra Literasi (Pati Utara) dan Pasar Gratis.


Kedai Kobar merupakan bentuk akronim dari Kongkow Bareng yang merujuk pada suasana kumpul ramai bersama banyak teman disertai berbagai obrolan asyik. Pemilihan nama ini berhasil memancing ketertarikan para pemuda di sekitar lokasi kedai sehingga mereka mau berkunjung walaupun saat itu sedang ada aturan pembatasan pandemi. Tak habis ide, Juna juga menyediakan baris panjang rak penuh buku guna menemani pelanggan yang datang sendiri tanpa teman.


Selain menghilangkan bosan, niat Juna menyediakan rak penuh buku sebenarnya adalah sebagai alat ukur potensi perkembangan kegiatan literasi para pemuda di wilayah sekitar secara tidak langsung. Pemuda-pemuda desa potensial yang menjadi pelanggan, dia rangkul untuk membentuk perkumpulan yang menyukai kegiatan diskusi pengetahuan. Perkembangan itu terjadi sedikit demi sedikit dari yang mulanya banyak mendayagunakan sound system untuk berkaraoke ria hingga beralih fungsi menjadi pengeras suara ketika berdiskusi.


Selepas kegiatan diskusi mulai rutin bermunculan di beberapa lapak meja kedai bersama Komunitas Patra Literasi, Juna mengembangkan cakupan menjadi lebih luas dan menyediakan diskusi publik. Upaya tersebut nyatanya berhasil diterima oleh masyarakat desa dan berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama sehingga menghadirkan banyak forum. Mulai dari seminar, bedah buku, sampai pentas budaya atau kesenian.


Tidak berhenti di situ, gerakan aktif Juna bahkan menghasilkan Pasar Gratis yang mampu menyentil sedikit sisi sosial di masyarakat. Juna dan Komunitas Patra Literasi berhasil merangkul donatur yang sukarela menyumbangkan pakaian bekas layak pakai untuk membuka lapak di pinggir jalan. Pasar Gratis yang membuat masyarakat dapat mengambil barang secara cuma-cuma.


Orang-orang gigih seperti Juna ini menurut saya layak mendapatkan apresiasi lebih. Semangat dia ketika membuka kedai dan gerakan sosial bagi masyarakat di Pati Utara tak pernah surut meski dikepung banyak halang rintang. Terlepas dari Juna adalah sahabat saya, saya kira tulisan ini adalah hasil nilai objektif yang bisa saya utarakan atas kerja keras dia karena subjektifitas bagi saya bukanlah sesuatu yang ideal. Jelasnya, saya tidak pernah mau mendapatkan gratifikasi meski itu berupa pemberian sepotong nasi bakar, saya akan menolak ketika ditawarkan apalagi dipaksa menerima.


Sekarang Kedai Kobar sudah tidak ada lagi. Hanya saja nama dan kenangannya pastilah tak lekang oleh zaman. Saya berharap kelak di kemudian hari Kedai Kobar dapat hadir kembali. Sekarang Juna tetap melanjutkan semangatnya membuka usaha kuliner dengan gerobak kecil di Jalan Ratu Kalinyamat 34, Tayu Wetan, Pati, bernama Bakaran Kobar.


Sebagai pelanggan yang menyukai segelas es madu, jelas saya sedih ketika mampir di sana Juna tidak lagi dapat membuatkan. Hanya ada gerobak dan alat bakar di bawah naungan pohon talok. Satu hal yang tidak berubah, seperti biasa, pada saat tertentu kami beruntung masih bisa menikmati syahdunya malam panjang di Pati Utara bersama, duduk mengobrol sambil menjaga gerobak.



Penulis: Resza Mustafa

Tulis Komentar

Previous Post Next Post